Kenapa Harus Bersaing?

Standard

Jangan terlalu serius baca tulisan saya yang ini. Karena saya lagi ga serius nulis. Hanya karena tidak ingin pelajaran yang didapat tempo hari terlupakan maka saya harus menulis. Mood ataupun tidak!

Jadi begini…

Sebenarnya bagus gak sih metode bersaing dalam mendidik?

Beberapa pekan lalu kami berkesempatan ngobrol dengan salah seorang arsitek senior yang lama tinggal di Jerman. Hampir puluhan tahun mungkin. Beliau banyak berbagi mengenai pendidikan di Jerman. Poin-poin yang saya catat adalah:

  • tidak ada sistem rangking, artinya tidak ada persaingan dalam belajar
  • sesama murid ‘bersaing’ dalam membantu temannya. Tahu kenapa Pak Habibi amat disegani di Jerman? Karena Pak Habibi banyak membantu sesamanya untuk lebih unggul darinya.

Ini metode persaingan baru. Mengingat kita selalu terbiasa dengan persaingan siapa yang mengalahkan dan memenangkan. Beda dengan orang-orang Jerman yang selalu berpikir; bagaimana kita bisa menang bersama? Benar juga sih kalau dipikir-pikir, jiwa pemenang takkan pernah takut untuk dikalahkan. Jadi ya woless aja bagi-bagi tips rahasia dan membantu sesamanya.

Saling membantu inilah yang menjadi akar bagaimana mereka bisa bekerja secara tim. Katanya, tim sepak bola internasional akan mendepak pemainnya jika sudah tak lagi mau membantu menyukseskan sesama pemain, alias ketika si pemain sudah merasa paling AKU. Nah, ketahuan kan sekarang kenapa mereka jadi juara dunia? Kepribadian yang selalu ingin menyukseskan sesama menjadi asas team building. 

Sejenak saya menengok bagaimana Kitab Petunjuk al-Quran mengutarakan tentang persaingan ini. Lalu tetiba ada pertanyaan yang terlintas, bukankah Iblis diperintah bersujud kepada Adam karena Adam terbaik, karenanya Iblis tidak mau sujud karena dia merasa lebih baik dari Adam? O ow. Ternyata bukan begitu. Sila buka lagi Kitab  Pedoman Mulia ini. Allah Swt perintahkan iblis dan malaikat bersujud adalah karena semata perintah Allah. Tapi si Iblis salah sambung, dia menangkap pesan perintahNya adalah karena Adam lebih baik dari Iblis. Di sinilah kegagalan Iblis bermula; dia mengira ini tentang persaingan padahal semua ini tentang penghambaan.

Balik lagi ke pendidikan. Bukan hanya Jerman yang tidak menerapkan sistem rangking, tapi juga Finlandia negara dengan kualitas pendidikan nomor wahid di dunia. Kenapa ya Indonesia masih suka dengan sistem rangking? Apakah dengannya jadi lebih mudah menilai siapa yang terbaik? Padahal sistem rangking hanya akan memunculkan satu orang juara, beda dengan non rangking; orientasi pendidikannya adalah bagaimana menjadikan semua anak sebagai juara! 

Persaingan yang dibungkus dalam kemasan rangking dan ujian sekolah akan melahirkan tekanan pada anak. Hasilnya anak belajar untuk ujian. Bukan karena dia suka belajar atau bukan karena si anak memiliki jiwa pembelajar. Kalau boleh, saya ingin mengatakan sistem rangking itu memberangus jiwa pembelajar anak. Akhirnya pembelajaran yang ada tidak bersifat long lasting. Sebelum ujian anak bisa hapal 5 bab, setelah ujian? HABIS semua. 

Pembelajaran yang dibawa dengan suasana menyenangkan dan saling membantu satu sama lain akan membuat anak fun. Anak tidak akan merasa di bawah tekanan. Tidak merasa memiliki musuh yang harus dikalahkan. Yang ada hanya KEBAHAGIAAN.

Lalu apa pentingnya anak belajar dengan suasana bahagia? Sekilas inpoh, anda tahu albumnya Agnez Mo dengan judul coke bottle? Si Agnez ngaku lagu itu dibuat main-main saja sebagai hiburan di tengah pekerjaannya yang segudang. Tapi ternyata dunia menyukai. Sekarang lagu itu jadi number UNO di request radio-radio Amriki. Dia bilang, “Seringkali kita melakukan hal-hal luar biasa saat tidak ada pressure.”

*eh udah ah, tar disangka saya fansnya agnez lagi.. padahal iya

Sistem rangking juga bikin anak minder. Padahal setiap anak juara dengan potensi dan keunggulannya masing-masing, lah ini diberangkus habis dengan sempitnya bilangan angka. Ngerasa miris ga sih? Saya sih merinding.. 

Begitu aja yang ingin saya bagi di tulisan kali ini. *padahal di awal saya ga serius nulis, kok malah jadi panjang begini? Apa karena tidak di bawah tekanan? Bisa jadi bisa jadii…

Ohya! Kalau dalam hal ini kita belajar dari Jerman, nah ada satu hal yang Jerman justru belajar ke Indonesia! Mau tau apa mau tau banget?! Yuuuuk tunggu aja si Nati mood nulis lagi. Bismillaah … 🙂

 

 

###

Natisadj

5 Maret 2014

 

 

3 responses »

  1. Jadi inget kata seorang teman: gak adil ya, pelajaran yang satu semester itu diwakili dengan pertanyaan yang cuma 5 soal di ujian akhir semester.

    *eh nyambung gak sih? 😀

Leave a comment